Alasan Mengapa Jepang Menerapkan Kebijakan Ekonomi Perang

Alasan Mengapa Jepang Menerapkan Kebijakan Ekonomi Perang. Mengupas mengenai pembahasan terkait alasan jepang mempergunakan kebijakan ekonomi perang pada wilayahnya sendiri, mengaa bisa demikian dan bagaimana pembahasan lengkap dan jelasnya ? mari kita simak pembahasannya berikut ini.

Alasan Mengapa Jepang Menerapkan Kebijakan Ekonomi Perang


Ekonomi perang menjadi kebijakan yang diterapkan oleh Jepang kala menjajah Indonesia. Inti dari ekonomi perang tersebut adalah, Jepang dapat meraih banyak keuntungan dari segi ekonomi yang dapat digunakan sebagai dana segar bagi mereka untuk berperang. Tentunya, hal ini wajar mengingat, Jepang tergabung ke dalam aliansi bersama Jerman dan Italia pada saat itu. 

Selain itu, Jepang juga sedang banyak berperang sehingga, mereka membutuhkan banyak dana terutama bagi berbagai macam kebutuhan perang dan ekonomi perang sendiri menjadi sebuah kebijakan yang pas bagi negara matahari untuk memperoleh dana guna menyokong kebutuhan mereka saat berperang. 

 

Alasan Mengapa Jepang Menerapkan Kebijakan Ekonomi Perang




Setelah Jepang, Membom Pearl Harbour, Jepang memulai aksinya dengan menguasai wilayah yang memiliki potensi sumber daya.

Selama masa pendudukan Jepang di Indonesia, diterapkan konsep “Ekonomi perang”. Ekonomi perang adalah kebijakan pemerintah penjajah Jepang yang menggali semua kekuatan ekonomi di Indonesia untuk menopang kegiatan perang pemerintah Jepang. Hal ini disebabkan karena sebelum memasuki PD II, Jepang sudah berkembang menjadi negara industri dan sekaligus menjadi kelompok negara imperialis di Asia. Jepang melakukan berbagai upaya untuk memperluas wilayahnya dengan sasaran utamanya antara lain Korea dan Indonesia. Indonesia sangat menarik bagi Jepang karena Indonesia merupakan kepulauan yang begitu kaya akan berbagai hasil bumi, pertanian, tambang, dan lain-lainnya.

Kekayaan sumber daya Indonesia tersebut sangat cocok untuk kepentingan industri Jepang. Selain itu, Indonesia juga dirancang sebagai tempat penjualan produk-produk industrinya. Pada saat berkobarnya PD II, Indonesia benar-benar menjadi sasaran perluasan pengaruh kekuasaan Jepang. Bahkan, Indonesia kemudian menjadi salah satu benteng pertahanan Jepang untuk membendung gerak laju kekuatan tentara Serikat dan melawan kekuatan Belanda. 

Setelah berhasil menguasai Indonesia, Jepang mengambil kebijakan dalam bidang ekonomi yang sering disebut self help atau juga sering disebut dengan Ekonomi Perang. Konsekuensinya tugas rakyat beserta semua kekayaan dikorbankan untuk kepentingan perang. Hal ini jelas amat menyengsarakan rakyat baik fisik maupun material.

Pada waktu Jepang mendarat di Indonesia pada tahun 1942 keadaan perekonomian di Indonesia lumpuh. Langkah pertama yang diambil pemerintah Jepang adalah melakukan pengawasan dan perbaikan prasarana ekonomi seperti jembatan, alat transportasi, telekomunikasi, dan bangunan-bangunan diperbaiki. Kemudian peraturan pengendalian kenaikan harga. Bagi mereka yang melanggar, akan dijatuhi hukuman berat.

Sejak itulah kehidupan ekonomi menjadi lumpuh dan keadaan ekonomi berubah dari ekonomi rakyat menjadi ekonomi perang. Langkah pertama yang dilakukan Jepang adalah merehabilitasi prasarana ekonomi seperti jembatan, alat-alat transportasi dan komunikasi. Selanjutnya Jepang menyita seluruh kekayaan musuh dan dijadikan hak milik Jepang, seperti perkebunan-perkebunan, bank-bank, pabrik-pabrik, perusahaan-perusahaan, telekomunikasi dan lainlain. 

Hal ini dilakukan karena pasukan Jepang dalam melakukan serangan ke luar negaranya tidak membawa perbekalan makanan Kebijakan ekonomi pemerintah pendudukan Jepang diprioritaskan untuk kepentingan perang. Perkebunan kopi, teh dan tembakau yang dianggap sebagai barang kenikmatan dan kurang bermanfaat bagi kepentingan perang diganti dengan tanaman penghasil bahan makanan dana tanaman jarak untuk pelumas.

 

Awal Mulanya Kebijakan Ekonomi Perang  


Pola ekonomi perang yang dilancarakan oleh Tokyo dilaksanakan secara konsekuen dalam wilayah yang diduduki oleh angkatan perangnya. Setiap lingkungan daerah harus melaksanakan autarki (berdiri di atas kaki sendiri), yang disesuaikan dengan situasi perang. Jawa dibagi atas 17 lingkungan autarki, Sumatra atas 3 lingkungan dan daerah Minseifu (daerah yang diperintah Angkatan Laut Jepang) dibagi atas 3 lingkungan autarki. Karena dengan sistem desentralisasi maka Jawa merupakan bagian daripada “Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya” mempunyai dua tugas, yakni:
  • memenuhi kebutuhan sendiri untuk tetap bertahan,
  • mengusahakan produksi barang- barang untuk kepentingan perang.
  • Dalam bidang perkebunan di masa Jepang mengalami kemunduran karena Jepang memutuskan hubungan dengan Eropa. Jepang mengubah tanah-tanah perkebunan menjadi tanah pertanian sesuai kebutuhan mereka. Beberapa kebijakan Jepang dalam bidang perkebunan antara lain sebagai berikut.
  1. Tanah-tanah perkebunan diganti dengan tanaman jarak yang dapat digunakan sebagai minyak pelumas mesin-mesin, termasuk mesin pesawat terbang.
  2. Tanaman kina juga sangat dibutuhkan, yaitu untuk membuat obat antimalaria, sebab penyakit malaria sangat mengganggu dan melemahkan kemampuan tempur para prajurit.
  3. Pabrik obat yang sudah ada di Bandung sejak zaman Belanda terus dihidupkan. Tanaman tebu di Jawa juga mulai dikurangi.
  4. Pabrik-pabrik gula sebagian besar mulai ditutup. Penderesan getah karet di Sumatra mulai dihentikan. Tanaman-tanaman tembakau, teh, dan kopi di berbagai tempat dikurangi.

Dalam bidang transportasi, Jepang merasakan kekurangan kapal-kapal sehingga Jepang terpaksa mengadakan industri kapal angkut dari kayu. Jepang juga membuka pabrik mesin, paku, kawat, dan baja pelapis granat, tetapi semua usaha itu tidak berkembang lancar karena kekurangan suku cadang.
Kebutuhan pangan untuk menopang perang semakin meningkat organisasi Jawa Hokokai giat melakukan kampanye untuk meningkatkan usaha pengadaan pangan terutama beras dan jagung. Tanah pertanian baru, bekas perkebunan dibuka untuk menambah produksi beras.
  1. Di Sumatra Timur, daerah bekas perkebunan yang luasnya ribuan hektar ditanami kembali sehingga menjadi daerah pertanian baru.
  2. Di tanah Karo juga dibuka lahan pertanian baru dengan menggunakan tenaga para tawanan.
  3. Di Kalimantan dan Sulawesi juga dibuka tanah pertanian baru untuk menambah hasil beras.
  4. Untuk kepentingan penambahan lahan pertanian ini, Jepang melakukan penebangan hutan secara liar dan besar-besaran. Di Pulau Jawa dilakukan penebangan hutan secara liar sekitar 500.000 hektar.

Dengan pembukaan hutan tersebut tanah pertanian semakin luas, akan tetapi kebutuhan pangan tetap tidak tercukupi. Untuk mengatasi keadaan ini kemudian pemerintah pendudukan Jepang mengeluarkan beberapa ketentuan yang sangat ketat yang terkait dengan produksi padi.
  1. Padi berada langsung di bawah pengawasan pemerintah Jepang. Hanya pemerintah Jepang yang berhak mengatur untuk produksi, pungutan dan penyaluran padi serta menentukan harganya. Dalam kaitan ini Jepang telah membentuk badan yang diberi nama Shokuryo Konri Zimusyo (Kantor Pengelolaan Pangan).
  2. Penggiling dan pedagang padi tidak boleh beroperasi sendiri, harus diatur oleh Kantor Pengelolaan Pangan.
  3. Para petani harus menjual hasil produksi padinya kepada pemerintah sesuai dengan kuota yang telah ditentukan dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah Jepang. Begitu juga padi harus diserahkan ke penggilingan padi yang sudah ditunjuk pemerintah Jepang. Dalam hal ini, berlaku ketentuan hasil keseluruhan produksi, petani berhak 40%, kemudian 30% disetor kepada pemerintah melalui penggilingan yang telah ditunjuk, dan 30% sisanya untuk persiapan bibit dengan disetor ke lumbung desa.
Sulitnya pemenuhan kebutuhan pangan semakin terasakan bertambah berat pada saat rakyat juga merasakan penggunaan sandang yang amat memprihatinkan. Pakaian rakyat compang camping, ada yang terbuat dari karung goni yang berdampak penyakit gatal-gatal akibat kutu dari karung tersebut. Adapula yang hanya menggunakan lembaran karet sebagai penutup.

 

Peraturan Perekonomian Pemerintahan Jepang


Dalam rangka mengendalikan kebijakan di bidang ekonomi pemerintah Jepang juga mengeluarkan peraturan untuk menjalankan perekonomian di bidang perkebunan. Perkebunan-perkebunan diawasi dan dipegang sepenuhnya oleh pemerintah Jepang. Rakyat dilarang menanam tebu dan membuat gula. Beberapa perusahaan swasta Jepang yang menangani pabrik gula adalah Meiji Seito Kaisya.

Jepang membutuhkan sumber daya untuk menunjang Perang Pasifik. Indonesia yang berhasil dikuasai oleh Jepang. Indonesia merupakan “gudang” sumber daya, terdapat banyak sumber daya alam dan sumber daya manusia. Eksploitasi ekonomi merupakan bukti nyata dari kebijakan yang sangat merugikan pribumi. Pengurangan produksi perkebunan mengakibatkan para petani yang menganggur memilih untuk menjadi romusha. Lingkaran setan eksploitasi ekonomi ini terus ada sampai tahun 1945, ketika Jepang menyerah pada sekutu dan Indonesia merdeka.
Dengan berbagai ketentuan pemerintah Jepang tersebut, coba bandingkan dengan kegiatan monopoli yang dilakukan pada zaman Hindia Belanda! 

Adakah persamaannya?
Ketentuan Pemerintah Jepang
Monopoli VOC

Pemerintah pendudukan Jepang mengeluarkan beberapa ketentuan yang sangat ketat yang terkait dengan produksi padi.
  1. Padi berada langsung di bawah pengawasan pemerintah Jepang. Hanya pemerintah Jepang yang berhak mengatur untuk produksi, pungutan dan penyaluran padi serta menentukan harganya. Dalam kaitan ini Jepang telah membentuk badan yang diberi nama Shokuryo Konri Zimusyo (Kantor Pengelolaan Pangan).
  2. Penggiling dan pedagang padi tidak boleh beroperasi sendiri, harus diatur oleh Kantor Pengelolaan Pangan.
  3. Para petani harus menjual hasil produksi padinya kepada pemerintah sesuai dengan kuota dan harga yang telah ditentukan. Begitu juga padi harus diserahkan ke penggilingan padi yang sudah ditunjuk pemerintah Jepang. Hasil keseluruhan produksi, petani berhak 40%, kemudian 30% disetor kepada pemerintah melalui penggilingan yang telah ditunjuk, dan 30% sisanya untuk persiapan bibit dengan disetor ke lumbung desa.


Peraturan-peraturan yang ditetapkan VOC dalam melaksanakan monopoli perdagangan antara lain :
  1. Verplichte Laverantie yaitu penyerahan wajib hasil bumi dengan harga yg telah ditetapkan oleh VOC,dan melarang rakyat menjual hasil buminya selain kepada VOC.
  2. Contingenten yaitu kewajiban bagi rakyat untuk membayar pajak berupa hasil bumi.
  3. Peraturan tentang ketentuan areal dan jumlah tanaman rempah-rempah yang boleh ditanam.
  4. Ekstirpasi yaitu hak VOC untuk menebang tanaman rempah-rempah agar tidak terjadi over produksi yang dapat menyebabkan harga rempah-rempah merosot.
  5. Pelayaran Hongi yaitu pelayaran dengan perahu kora-kora (perahu perang) untuk mengawasi pelaksanaan monopoli perdagangan VOC dan menindak pelanggarnya.
Dari kedua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berbeda, kedua-duanya memiliki persamaan yaitu sama-sama menyengsarakan penduduk lokal, pribumi. Selain itu kebijakan pemerintah Jepang dan VOC memiliki persamaan sebagai berikut.
  1. Pemerintah melakukan pengawasan yang ketat terhadap hasil produksi pertanian rakyat.
  2. Penyerahan wajib hasil pertanian kepada pemerintah
Pada pelaksanaanya di kota Blitar, Blitar salah satu sumber persediaan bahan makanan yang penting bagi Jepang. Blitar merupakan wilayah yang memiliki beragam faktor produksi seperti lahan pertanian dan juga perkebunan. Perkebunan dikuasai oleh Jepang, sementara itu kayu-kayu yang berasal dari perkebunan digunakan untuk membangun kubu pertanahan bagi Jepang.
  1. Secara umum kondisi perekonomian Blitar pada tahun 1942-1945 menjadi lebih buruk apabila dibandingkan dengan masa Hindia Belanda. (
  2. Jepang menerapkan sistem ekonomi autarki dimana semua kegiatan perekonomian ditujukan untuk kebutuhan perang. Segala sumber-sumber ekonomi dikerahkan untuk tujuan perang. Diantaranya adalah pengumpulan beras kepada Kumiai, penebangan kayu-kayu untuk digunakan sebagai kubu-kubu pertahanan, pengerahan tenaga kerja secara besar-besaran sebagai romusha untuk membangun kubu-kubu pertahanan di pantai selatan Blitar. Hal-hal tersebut menyebabakan kondisi masyarakat Blitar semakin memprihatinkan.
  3. Berbagai kebijakan yang telah diterapkan Jepang di Blitar membawa dampak yang amat buruk bagi masyarakat Blitar. Jumlah penduduk menurun drastis karena meningkatnya jumlah kematian karena pengerahan romusha secara besar-besaran, kelaparan, kemiskinan, dan kesehatan serta gizi yang sangat buruk turut menggerakkan para parjurit PETA yang dipimpin oleh Supriyadi untuk memberontak. Pemberontakan tersebut dikarenakan para prajurit PETA menyaksikan sendiri bagaimana rakyatnya menderita dan ditambah dengan perlakuan buruk dari para tentara Jepang. Pada 14 Februari 1945 meletuslah pemberontakan PETA Blitar. Pemberontakan tersebut merupakan pemberontakan pertama yang menggoyahkan pemerintah Pendudukan Jepang walaupun pemberontakan tersebut dinyatakan gagal.
Sekian dulu kawan kawan artikel seputar pendidikan dengan topik pembahasan mengenai Alasan Mengapa Jepang Menerapkan Kebijakan Ekonomi Perang. Semogsa bisa memberikan wawasan dan informasi ayng edukatif buat kawan kawan semuanya yaa.